Kamis, 12 Maret 2009

Yang Tercecer Seputar Dies Emas ITB

Seniman Bandung ikut meramaikan suasana Pameran. Boleh tua, gaya tetep..., muda!
Tampak gaya salah satu personil TBB, sok imut beneeeeeeeeeerrrrrrrrrrrrr!
Setiap Pengunjung tak lupa untuk melirik...
Tiga generasi berderet mengharap masa depan lebih baik. Tak cukup melihat, bukan? Action!
Tak hanya anak-anak, remaja pun tak mau ketinggalan....
Anak-anak menyaksikan masa lalu yang telah tiba. bIsakah aku seperti mereka?

"Kehidupan pinggir jalan tidak menjadikan aku kreatif, yang ada hanya bau knalpot", demikian bunyi poster itu.
Salah satu kratifias mahasiswa ITB. Pegemispun masuk kampus...

Mirip Gedung Bundar...
Coba Tebak binatang apa ini!
Dunia Kata-kata, Dunia Pancaroba...
Coba Anda tebak, Ini lingkungan Kampus atau Sawah?
Memicingkan Mata, mencari bidikan yang Pas.
Salah Satu Logo yang Dipajang di PAMERAN. Mirip logo partai gak?
Unek-unek Pengunjung bisa disimpan di sini. Anda mau teriak juga? Silakan!
Photo Jaman Dulu yang Berukuran Raksasa. Perhatikan gambar tengah, Anda kenal siapa dia?
Pitu Masuk Pameran Dies Emas ITB

Senin, 23 Februari 2009

Dari Braga Hingga Djuanda ( Perjalanan I )



Rupanya tak mudah untuk menghadirkan berita berikut dokumentasinya seperti gambar dengan memenuhi kriteria penayangan serta estetika keindahan. Banyak kendala yang hadir semisal cuaca yang tak bersahabat. Maklum, langit Bandung sedang getol-getolnya menunaikan 'hajatnya' mengguyurkan hujan.

Cuaca yang memang sulit ditebak, tak urung membuat perjalanan Tim Bidik Bandung (TMB) lebih banyak rehatnya ketimbang bernafsu mencari informasi untuk bahan tayangan. Sebuah kendala yang memang tak bisa dilawan oleh tim kami yang memang masih hijau untuk urusan seperti demikian.

"Kepulangan" kami dari Braga beberapa hari lalu tak banyak menuai hasil. Obyek yang akan dibidik lebih banyak ditumbuhi 'jerawat' berupa titik air hingga si obyek tampak bias jika dilumat mata kamera. Hasilnyanya pun begitu absurd alias tidak jelas. Saya yakin, Anda tidak akan mau disuguhi gambar yang kurang mengena, bukan?

Merasa pulang dengan tangan hampa, ada obat yang bisa mengobati rasa kecewa tadi. Sepanjang perjalanan di tengah guyuran hujan kami masih bisa menyaksikan cahaya lampu benderang sepanjang kota Bandung. Bandung, memang indah kala malam menjelang. Apalagi saat itu hujan rintik, yang tentunya kilau air menembus masuk menuju cahaya. Persis sebuah siluet.

Sepanjang jalan Bandung seolah sudah berubah menjadi Kota Mode yang yang tak jemu bersolek. Sepanjang jalan yang tampak di kiri-kanan adalah ribuan manekin di balik kaca puluhan outlet. Manekin cantik itu seperti melambaikan tangan, mengajak masuk dan membelanjakan uang di kantong kita.

Persis memasuki jalan Djuanda yang orang lebih mengenalnya sebagai Jalan Dago, mulai dari awal yang tampak adalah deretan beberapa arena 'cuci mata'. Planet Dago, adalah yang sering banyak dikunjungi malam itu. Di bawah cuaca yang tak bersahabat, puluhan muda-mudi asyik bercengkrama di bawah sinar lampu yang dibuat temaram.

Persis di bawah jalan play over Pasupati, beberapa anak muda tanggung memainkan Skateboard dengan tertatih-tatih. Mereka mungkin tengah berlatih. Sementara di sebrangnya, di antara lampu taman, beberapa pengasong, pengemis atau pengamen tengah mengaso. Melepas lelah setelah sekian lama mengaduk hidup dengan masing-masing caranya...

Tak terasa, Jalan Djuanda telah habis kami lewati. Sesaat lagi pintu ruang sederhana kami di mana kami "bermarkas" akan terbuka. Alhamdulillah, kendati tak membawa hasil tapi bersyukur perjalanan kali ini terasa lebih menyenangkan.

Minggu, 22 Februari 2009

Pameran Buku di Gedung Landmark
























































Kali ini kita menghadirkan bandung dalam versi yang berbeda, pesta buku! (berlangsung tanggal 4-10 Februari 2009) ya buku, kenapa buku, karena kata orang bijak buku adalah jendela dunia. Melalui buku bangsa-bangsa besar di dunia membangun peradaban, dari mulai Yunani, Persia (Irak), Eropa, sampai China. Oleh karenanya buku menjadi penting, utamanya bagi bangsa yang sedang membangun seperti negeri kita. Tetapi ironisnya budaya membaca utamanya kalangan muda masih rendah, mereka lebih suka pergi ke mall, kongkow – kongkow, buat gang ataupun main game. Pameran buku semacam ini agaknya menjadi sesuatu yang penting. Menggalakan budaya membaca, menghadirkan buku yang berkualita dan harga yang terjangkau. Walau masih jauh dari harapan pameran buku menjadi sarana lain yang cukup bagus bagi para pecinta buku.

Bermacam penerbit baik besar maupun kecil hadir dalam pameran yang sering digelar rutin tiap taunnya ini. Sayangnya pameran hanya menampilkan para penerbit yang ingin menjual bukunya, tanpa hadirnya launching buku baru dari penulis misalnya atau seminar bertema buku, berbeda sekali misalnya dengan pameran buku Berlin (Jerman) yang selalu dinanti pecinta buku kelas dunia karena launching para penulis besar. Yeah realitas itu nampaknya masih jauh bahkan dari angan kita sekalipun. Bagi bangsa yang sedang belajar, apresiasi sekecil apapun wajib kita hargai, semoga di taun mendatang pameran buku bandung menghadirkan sesuatu yang lebih memikat, memuaskan bagi para pecinta buku, penerbit maupun penulis sendiri. Selamat menikmati!!

Selasa, 17 Februari 2009

Braga, Lain Dulu Lain Sekarang

Syahdan, Jalan Braga yang merupakan ikon Kota Bandung hingga kini, tentunya selain jalan lainnya seperti Asia Afrika, Jalan Cihampelas, merupakan daerah pelesiran bagi orang-orang Belanda masa silam. Setiap sudut kota telah dijadikan pusat pemandangan yang dibuat seartistik mungkin pada masa itu. Tak jarang setiap tamu yang berkunjung secara resmi atau kenegaraan tak pernah melewatkan jalan Braga sebagai tempat yang seolah wajib untuk dikunjungi.

Banyaknya gedung dengan nilai arsitektur menawan telah menjadikan Braga punya nilai histori tinggi. Peninggalan sejarah yang lebih dominan adalah gedung-gedung dengan arsitektur khas Belanda; tinggi menjulang dengan ornamen berselera Eropa.

Gedung Landmark adalah salah satu peninggalan itu. Konon, menurut warga sekitar gedung ini dulunya adalah tempat berdansanya nyonya-nyonya Belanda. Setiap akhir pekan, para isteri Londo itu asyik memainkan tubuhnya dengan iringan musik yang kadang lembut, kadang menghentak.

Sejarah perkembangan kehidupan adalah metamorfosis dari bergulirnya hidup itu sendiri. Jika Anda ke Braga kini niscaya Anda tak akan menemukan puluhan warga asing berjalan lengkap dengan topi lebarnya. Atau, Anda tidak akan menemukan beberapa sado atau delman penarik orang Belanda berkeliling menikmati udara dingin Braga. Yang ada kini di setiap kiri-kanan jalan adalah pertokoan, rumah makan dan juga beberapa bar.

Datanglah setiap akhir pekan. Ada kemacetan dimana setiap pengendara kendaraan harus rela antri dan cerdas mengatur laju mobil supaya tak menyenggol kendaraan lain. Untuk pejalan kaki, harus berbesar hati karena di emper jalan telah ditumbuhi beberapa pedagang kaki lima, satu diantaranya adalah penjual lukisan.

Bagaimanapun, Braga adalah sebuah bukti sejarah. Kekuatannya telah terpancar begitu elok dan nyaris semua turis Belanda, atau bangsa Eropa lainnya, selalu merasa tidak sempurna kedatangannya ke Indonesia jika tidak berkunjung ke jalan Braga.
Bagaimana dengan Anda? Ditunggu kedatangannya! ( Tim Bidik Bandung )

Kamis, 05 Februari 2009

Ketika Team Bidik Berbicara

Pesona Bandung memang tiada habisnya, kota yang sering disebut Paris Van Java ini memiliki keunikan tersendiri dibanding kota-kota lainnya. Bandung tersohor sebagai kota sejarah dengan Bandung Lautan Apinya, peninggalan gedung-gedung tua seperti yang telah kita hadirkan merupakan peninggalan yang tak ternilai harganya.


Jalan Braga menjadi salah satu bentuk kesaksian kejayaan Bandung tempo dulu, selain nilai sejarah yang ada Bandung juga menjadi tujuan wisata belanja dan kuliner yang luar biasa. Lihat saja hari-hari ketika weekand tiba jalanan kota kembang tidak akan pernah sepi oleh pengunjung baik dari luar kota maupun dalam kota Bandung itu sendiri.

Bersama Team Bidik Bandung (TBB) beberapa waktu yang lalu kita telah mengangkat fenomena Jl. Braga sebagai topik utama dalam penulisan blog perdana kita. Dalam liputan tersebut memang kita sengaja menampilkan lebih banyak gambar daripada bentuk tulisan. Gambar menurut TBB akan lebih menampilkan wajah braga secara nyata dan obyektif, pembaca dapat menafsirkan dan menyimpulkan sendiri tentang braga daripada bentuk tulisan yang menurut kami terlalu subyektif.

Dalam penerbitan pertama tersebut TBB sangat mengakui adanya kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam menampilkan potret jalan Braga. TBB terbuka dengan segala macam kritik yang pembaca sampaikan. kedepan harapan kami dapat lebih menampilkan liputan- liputan lain yang lebih bermakna dan berbobot agar pesan yang ingin kita sampaikan lebih mengena kepada pembaca yang budiman.

TBB pada saat tulisan ini diturunkan sebenarnya baru saja mencoba membidik Jl. Braga ketika sore dan malam hari, akan tetapi terjadi kendala teknis dilapangan yang tidak bisa kami hindari (hujan dan ketidakmampuan kamera membidik obyek tanpa cahaya) sehingga hasil liputan tidak bisa kami tampilkan dengan segera. Harapannya fenomena Jl. Braga dengan kehidupan malamnya dapat kami tampilkan dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Braga Titik Nol yang menjadi nama web kami dikarenakan Braga adalah tempat pertama kami untuk mencoba menampilkan diri, titik nol memiliki makna permulaan untuk berbuat sesuatu, sehingga nama itu dipilih sebagai nama website kami. Dalam era keterbukaan seperti sekarang ini jurnalisme tidak lagi terikat dengan aturan-aturan yang dibuat lembaga-lembaga kekuasaan (era kebebasan pers), warga masyarakat dari golongan dan lapisan manapun bebas menampilkan fenomena yang memiliki nilai berita.

Perkembangan media baik cetak maupun elektronik menjadi media yang paling ideal bagi golongan masyarakat yang ingin membagi informasi atau berita maka munculah istilah baru dengan sebutan citizen jurnalisme. Barangkali kamilah bagian dari fenomena tersebut. Wadah bagi orang-orang yang tidak terwadahi dalam media formal biasa (suratkabar dan televisi).

Citizen jurnalisme memiiki kelebihan tersendiri dibanding media konvensional, Berita yang lebih obyektif, unik, apa adanya, dan interaksi dengan masyarakat yang lebih setara (saling berkomentar dan membagi informasi misalnya). Fenomena Citizen jurnalisme menjadi pemacu bagi kami untuk terus menampilkan fenomena-fenomena lain di kota kembang yang ingin diketahui pembaca sekalian. (jemz-srigunting)

Minggu, 25 Januari 2009

KAIS REJEKI, TEBAR KREASI, (Seniman Lukis)





Kang Deni dan PakuUsman, Seniman Lukis yang kreasinya tak kalah bagus oleh seniman sohor.

Pemandangan di Langit Braga


Inilah gambar yang paling kontras yang berhasil kami bidik karena tak ada satupun media lain yang tampil selain langit biru. Tampak indah, bukan?